Shahih Ibnu Khuzaimah 101: Yunus bin Abdul A’la mengabarkan kepada kami, Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, Amr bin Al Harits mengabarkan kepadaku dari Sa'id bin Abu Hilal dari Utbah bin Abu Utbah dari Nafi’ bin Jubair dari Abdullah bin Abbas, bahwa ditanyakan kepada Umar bin Al Khaththab, “Ceritakan kepada kami mengenai masalah sa ‘ ahal ‘usrah (masa kesulitan).” Umar berkata, “Kami pergi menuju Tabuk saat terik matahari menyengat, lalu kami singgah di sebuah tempat di mana kami dilanda kehausan sampai kami mengira leher-leher kami akan putus, hingga ada seseorang pergi mencari air (17-1), dan ia pun belum kembali, hingga ia mengira lehernya akan putus. Sampai ada seseorang menyembelih untanya, lalu memeras kotorannya, meminumnya dan sisanya ia letakkan pada bagian tubuhnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah selalu memberi kebaikan kepadamu dalam berdoa, karena itu doakan untuk kami.” Beliau bertanya, “Apakah kau menyukainya?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Lalu beliau mengangkat kedua tangan. Belum lagi beliau mengembalikan kedua tangannya, tiba-tiba awan datang, cuaca pun gelap kemudian hujan turun. Merekapun memenuhi bejana yang mereka punya. Kemudian kami pergi lagi menanti tapi kami tidak mendapatkannya melewati tentara.” 206 Abu Bakar berkata, “Seandainya air kotoran bila diperas itu najis, maka seseorang tidak boleh meletakkan air kotoran itu pada bagian tubuhnya, sehingga sebagian badannya terkena najis, padahal ia tidak menemukan air suci yang dapat dipakai untuk membasuh tempat najis itu. Adapun minum air najis ketika khawatir mati jika tidak meminumnya, hal itu boleh demi mempertahankan hidup, karena Allah 'Azza wa Jalla membolehkan makan bangkai, darah, daging babi ketika terdesak untuk mempertahankan hidup, bila khawatir akan mati. Padahal bangkai, darah, daging babi adalah najis yang diharamkan bagi orang yang tidak sedang membutuhkan, tetapi dibolehkan memakannya bagi orang yang terdesak demi mempertahankan hidup. Demikian pula boleh bagi orang yang terdesak demi mempertahankan hidupnya meminum air najis bila ia khawatir mati jika tidak meminumnya. Adapun meletakkan air najis pada sebagian badannya, padahal diketahui bahwa jika air najis itu tidak diletakkan pada badannya, ia tidak mengkhawatirkan dirinya akan mati, dan dalam mengusap air najis itu ke sebagian badan, tidak demi mempertahankan hidup padahal ia tidak mempunyai air suci yang bisa dipakai membasuh bagian badannya yang terkena najis, hal ini tidak boleh dan tidak seorangpun mendapat kelonggaran untuk melakukannya.”