Al Mustadrak 557: Abu Al Abbas Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami, Ahmad bin Abdul Jabbar menceritakan kepada kami, Yunus bin Bukair menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada kami, Shadaqah bin Yasar menceritakan kepadaku dari Ibnu Jabir —yaitu Aqil bin Jabir, yang diberi nama Salamah Al Abrasi—, dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah pada perang Dzatur Riqa’ di sebuah pohon kurma, lalu salah seorang tentara muslim menyetubuhi istri seorang laki-laki musyrik. Ketika Rasulullah pulang, suami dari perempuan tersebut datang setelah sebelumnya dia tidak ada (pergi). Ketika dia diberitahu kabar tersebut, dia bersumpah tidak akan berhenti (untuk balas dendam) sampai darah mengalir pada sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia lantas keluar mengikuti jejak Rasulullah hingga beliau berhenti di suatu tempat. Beliau bersabda, "Siapakah yang mau menjaga kami malam ini?" Tampillah seorang laki-laki Muhajirin dan seorang laki-laki Anshar. Keduanya berkata, "Kami, wahai Rasulullah." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tetaplah kalian berada di mulut jalanan bukit ini." Rasulullah kemudian berhenti di suatu di jalanan di lembah. Ketika keduanya keluar menuju mulut jalan, orang Anshar berkata kepada orang Muhajirin, ((Malam apakah yang lebih kamu sukai agar aku berjaga-jaga?” Orang Muhajirin berkata, “Biarkan aku beristirahat terlebih dahulu.” Orang Muhajirin tersebut pun tidur, sementara orang Anshar berdiri untuk menunaikan shalat." Lalu datanglah suami dari perempuan yang disetubuhi tadi. Ketika dia melihat kondisi laki-laki tersebut, dia tahu bahwa orang tersebut merupakan penjaga (yang menjaga), maka dia memanahnya dengan anak panah hingga menancap di tubuhnya. Tapi laki-laki tersebut mencabutnya lalu membuangnya seraya tetap berdiri menunaikan shalat. Kemudian dia memanahnya dengan anak panah yang lain, tapi laki-laki tersebut mencabutnya kembali lalu membuangnya dan tetap berdiri shalat. Kemudian dia mengulanginya untuk ketiga kalinya, tapi laki-laki tersebut mencabutnya lagi dan membuangnya, lalu ruku, kemudian membangunkan temannya. Temannya tersebut lalu berkata, “Duduklah, karena aku telah siap (menggantikan).” Dia kemudian duduk. Ketika laki-laki tersebut (suami dari perempuan yang disetubuhi) melihat keduanya, dia baru tahu bahwa keduanya telah beijanji (untuk saling bergantian berjaga), maka dia pun lari. Ketika orang Muhajirin melihat kondisi orang Anshar yang penuh darah, dia berkata, “Subhanallah, mengapa kamu tidak membangunkanku ketika kamu dipanah untuk pertama kali?” Dia menjawab, “Aku sedang membaca suatu surah dan aku tidak ingin memotongnya sebelum aku selesai membacanya. Ketika serangan panah terus-menerus menimpaku, aku pun ruku, lalu memberitahumu. Demi Allah, seandainya tidak karena takut akan kehilangan batas wilayah yang Rasulullah perintahkan agar aku menjaganya, pastilah nyawaku sudah terenggut sebelum aku memotongnya atau menyelesaikannya.” Sanad hadits ini shahih. Muslim berhujjah dengan hadits- hadits Muhammad bin Ishaq. Aqil bin Jabir bin Abdullah Al Anshari lebih baik kondisinya daripada kedua saudaranya (Muhammad dan Abdurrahman). Ini merupakan Sunnah yang sempit, karena para imam kita berkeyakinan berdasarkan hadits ini, bahwa keluarnya darah tanpa adanya hadats tidak mewajibkan wudhu.